-
Duhai!
Bukan tak sayang lantas aku pergi Bukan hendak menyakiti lantas aku masih di sini Perjalanan ini bukan sebundel fiksimini Deras air mata, nganga luka, tangis pedih adalah warna Bukan tak rindu lantas aku tak buru-buru Bukan tak hendak bersatu lantas aku diam termangu Andai engkau tahu, diamku adalah nyanyian pilu air mata! Dalam nganga luka…
-
Terpaku Sepi
Ratusan purnama terlewati Tanpamu dan mereka yang seharusnya Merengkuh sebilah dayung tak lagi sama Sendiri membelah ombak Kuntuman Wijaya Kusuma terlepas dari pandangan Lembut wanginya terlebur malam Dingin angin menebarkan aromanya Malam-malamku belum lagi bermekaran Mawar jingga, aster merah dan zinnia merah jambu mengirimkan rindu Menuturkan dalamnya luka perpisahan Menceritakan hembusan napas dalam kehampaan Menggambarkan…
-
Chapter 52 My Sunshine
(Tamat) Surat Cinta Untuk Prima “Cath, come on!” Lin dan Retha berseru hampir bersamaan. Mendahuluiku berjalan menuju Dam Amsterdam Square. “Come on Girl … Lets create our new happiness!” seru Retha antusias yang ditimpali oleh Lin, “You want to go around by the motorboat, don’t you?” Tentu saja aku mau karena memang itulah tujuan utamaku…
-
Chapter 51 My Sunshine
Pesan Terakhir Prima “Benarkah apa yang Prima tulis di buku diary itu, Bang?” aku memberanikan diri untuk bertanya, “Benarkah Prima sudah mengatakan hal itu sama Abang?” Karena ingin mengetahui kejujuran hati Bang Tasnim, aku mendongakkan wajah. Menyelam hingga ke dasar bola matanya. Mencari-cari jawaban apakah yang tertulis di sana atas pertanyaanku tadi. Tapi sepertinya Prima…
-
Chapter 50 My Sunshine
Lunch with Bang Tasnim “Tapi aku nggak boleh pacaran, Prim.” sergahku sambil menatap lurus dan serius ke arahnya, “Itu larangan keras dari Mama. Terutama semenjak Papa meninggal, Mama dengan super tegas menjatuhkan larangan itu padaku.” Prima tersenyum simpul, sorot matanya berubah menjadi sendu. “Jadi bagaimana, Sweety? Ya, sebenarnya aku juga nggak mau pacaran. Aku maunya…
-
Chapter 49 My Sunshine
Buket Mawar Jatayu “Prim … Good morning, my Sunshine!” aku bergumam lirih, pahit. Tenggorokan terasa pedih, suara pun menjadi serak. Karena terlalu banyak menangis, semalam. Menangisi kepergian Prima. “I love you, Prim!” Selalu seperti ini. Dari sejak pertama kali membuka mata di pagi hari, sampai nanti tengah malam memejamkan mata kembali, bayang-bayang Prima tak sedikit…
-
Chapter 48 My Sunshine
Apartemen, Sahabat dan Cinta “Hello, Catherine!” sapaan Dortmund benar-benar memberikan efek kejut dalam diriku. Tanpa kusadari, dia menungguku di depan perpustakaan, bayangkanlah! Membuat risih. Lagi pula, aku harus segera pulang. Sudah ada janji dengan Lin. “Oh, hello … Dortmund!” bagaimanapun, tidak sopan kalau mengabaikan sapaan seseorang. Jadi, aku menyapa balik sebagai sopan santun. Di sini…
-
Chapter 47 My Sunshine
Melanjutkan Hidup “Oh ya, syukurlah Cath. Mama ikut senang.” sahut Mama melegakan perasaan, “Pandai-pandai bawa diri, Cath. Terus saling menguatkan ya, kalian? Mama hanya bisa bantu dengan doa, Cath. Mama juga belum pernah ketemu sama Bunda lagi. Nggak enak kalau mau tiba-tiba datang berkunjung.” Tentu saja aku mengerti apa yang Mama maksudkan. Perlu waktu yang…
-
Chapter 46 My Sunshine
Time Fliest So Fast Lin dan Retha belum pulang ketika aku sampai di apartemen. Jadi, aku langsung mengeluarkan semua buku yang tadi kupinjam dari perpustakaan. Serapi mungkin menyusun di meja belajar, di depan nametag UNIVERSITY BOOK yang aku buat dari kertas karton. Mengosongkan tas kuliah dari semua buku, baik buku catatan kasar maupun buku bacaan…
-
Chapter 55 My Sunshine
Mewujudkan Impian Prima Klik, klik … Kriiittt! Dengan perasaan yang jauh lebih baik—semangatku untuk menempuh pendidikan di Leiden University mulai merambat naik dari dasarnya—aku mengunci pintu apartemen. Memasukkan anak kunci ke dalam kantong tas punggung bagian samping kanan dan perlahan-lahan namun pasti berjalan menuju lift. Tak terasa, dua minggu sudah aku menempati apartemen mahasiswa ini…